buat Komo; "tentang tangisan Bunga"
petang itu, tangisan serupa suara Mortred atas panah Medusa
sampai terdengar di kolong meja kedai tempat pak tua menghabiskan anggurnya.
ketika ia hendak pulang, menujukan sadarnya atas kemabukannya sesaat lalu. singgahlah sesosok Mirana bermata empat, menyuarakan kabar pada pak tua bahwa kuntum bunga kesayangannya kini tengah berembun di atas bukit.
"mengapa demikian?" pak tua tak dapati maksudnya.
"bunga tengah menangis di karenakan sebagian akar pohonnya tak dapat lagi memberinya air." kata Mirana yang kemudian menjadi bayang maya lalu hilang terbawa angin.
seketika pak tua mengambil tongkat penyangga tubuhnya,
"aku akan berjalan ke bukit itu"
namun belum sempat kaki melangkah, seekor bebek tertawa lantas berkata;
"hendak kemana kau pengantar bunga?"
"apa kau pikir dengan kedatanganmu akan menyegarkan kembali putik bunga itu?"
"bukankah disana kau serupa Magina yang terhantam boomerang Jahrakal?"
pak tua terdiam, lalu kembali duduk dan meletakkan tongkatnya di atas kepala bebek itu.
.
.
.
.
.
.
namun ketika air sungai mulai tehangatkan oleh cahaya fajar, pak tua bertekad mendaki bukit itu, kali ini ia tidak menggunakan tongkatnya. ia tak inginkan adanya api Luna keluar dari mulut bebek jika ia mengambil tongkatnya. ya ia merangkak serupa N'aix menuju bukit itu.
sampailah pak tua di atas, didapatinya ibanya melihat bunga yang di kaguminya kini hampir layu dan dipenuhi derasnya aliran aliran embun. namun tak lama rasa itu menari dalam cakrawala hatinya.
tanpa tanda tanda, suara tepakan tepakan, Centaur datang. menawarkan amarah pada pak tua. bersamaan dengan tawaran itu, diacungkannya kapaknya ke arah pemuda yang diam berteman secangkir air, duduk di atas nisan. masih dalam amarah, tiga rangkakan kaki pak tua. lantas bertanya;
"anak bodoh, sudah berapa lama kau disitu?"
"dua malam" jawabnya
"sadarkah kau atas kebodohanmu?"
pemuda itu mengerutkan dahinya.
"mengapa kau tak tuangkan air putih di cangkirmu pada bunga ini hah..?"
pemuda berkata;
"maafkan aku pak tua, namun apa kau pikir dengan menyiramkan air ini, sang bunga akan merona lagi? kematian akarnya adalah sebuah konstanta Tuhan, dan nampaknya sang bunga coba pungkiri itu sampai ia hampir layu, dan akhirnya layu. itu bukan salahku" lalu pemuda itu malah meminum air itu dan kembali duduk.
pak tua yang pengantar bunga. mendakati bunga, berkata dengan bisikan lirih;
"wahai keindahan, bahkan embun yang kini mengaliri wajahmu tak dapat lunturkan ayumu, ketahiulah wahai keindahan. biarlah hidup berjalan lagi adanya! tapi jika kini kini kau ingin menangis, maka menangislah! tak usah ragu. pemuda di nisan itu akan menjagamu sementara waktu."
maka bunga itu menangis. tangisan serupa kematian Mortred atas panah Medusa
sampai terdengar di kolong meja kedai tempat pak tua akan menghabiskan anggurnya.
; 3-stya-1 feturing heroe's DOTA ;
Minggu, 07 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar